Rabu, 02 Mei 2012

BUDAYA MENULIS DI KALANGAN GURU, CERMIN SEBUAH KEPRIHATINAN

Education
Penulis: 
Untung Sutikno, S.Pd

Tanggal 8 September adalah Hari Aksara, hari yang mestinya identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Berkaitan dengan peringatan hari aksara tersebut, saya ingin mencurahkan uneg-uneg yang membuat saya merasa prihatin dengan kompetensi guru saat ini. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian menjadikannya unggul dalam bidang tertentu dan sangat siap untuk bersaing (Hernowo, 2005:279). Kompetensi yang saya soroti dalam tulisan ini adalah kompetensi menulis yang belum menjadi budaya di kalangan guru. Bahwa kompetensi menulis di kalangan guru sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Tabrani Yunis - Peminat masalah sosial dan Pendidikan,/Director Center for Community Development and Education (CCDE)-mengkritik para guru, bahwa budaya menulis di kalangan guru masih sangat rendah.

Diakui atau tidak, kritikan tersebut patut kita renungkan untuk menemukan akar permasalahannya. Kita tidak perlu membuat indikator terlalu banyak. Cobalah amati rekan-rekan guru di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sendiri sebagai tugas utama guru. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. Anda membaca surat kabar ? Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para guru. Pasti jarang sekali, bukan?

Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis - salah satu unsur pengembangan profesi- kalau mau cepat naik pangkat. Menurut kabar yang saya terima sewaktu mengikuti Workshop Guru Pemandu KKG SD di LPMP Jawa Tengah pada tanggal 13-16 Agustus 2008 akan ada peraturan baru tentang kenaikan pangkat melalui angka kredit.

Guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, Golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IVd ke IV/e =14. Jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan, maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri, adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru itu sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian?

Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.

Banyak kendala yang mengahadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.

Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walapun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham- penulis artikel kondang yang ratusan tulisannya terserak di Koran Suara Merdeka, Wawasan, Kaltim Pos, Solo Post dan sebagainya,-menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat.

Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.

Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang. 

SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN

Hom
Judul: SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN:
 
  Penulis: 
Drs. Ruslan, M.Pd.
Saya Dosen di JPTE FT UNM
Topik: Sertifikasi dan Kesejahteraan Pendidik
Tanggal: 17 AGUSTUS 2008

SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN:

Tantangan bagi Sosok Pendidik pada Era Global

Oleh: Drs. Ruslan, M.Pd.

ABSTRAK

Mereka para pendidiklah, masa depan dan peradaban bangsa ini dipertaruhkan. Tugas kependidikan yang diembannya bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakunnya. Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan terhadap kualitas pelaksanaan tugas pendidik, mereka harus memiliki sertifikat sebagai pendidik. Hanya pendidik yang terjamin kualitasnya yang mampu mengelola pembelajaran dengan baik, sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan.

Setiap orang harus membuka mata dan hatinya untuk merenungkan dan menyadari bahwa betapa berat tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok seorang pendidik. Meskipun upaya ke arah meringankan beban tantangan yang dihadapi oleh pendidik telah diprakarsai oleh pemerintah dengan dikeluarkannya UU RI No. 14 tahun 2005. Dukungan jangan berhenti sampai di situ, tetapi setiap orang harus beraksi dan mengambil peran secara bersama-sama menurut kadar kemampuannya masing-masing untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pendidik. Ada tiga jenis tantangan utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi oleh sosok seorang pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum, tantangan sosial ekonomi dan tantangan profesi di lembaga pendidikan tempat mereka bertugas. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di atas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya.

Kata Kunci: Sertifikasi, tantangan, mutu pendidikan, dan pendidik.

A. PENDAHULUAN

Pasal 1, ayat 6, UU RI, No. 20, tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), menyatakan bahwa "Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.". Selanjutnya, pasal 39, menyatakan bahwa, "Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi, (ayat 2)". Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru, dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen, (ayat 3). Kemudian, UU RI No. 14 Tahun 2005, pasal 1, ayat 1, menjelaskan bahwa Guru adalah "Pendidik Profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah".

Esensi tugas pendidik menurut kedua UU RI di atas terungkap menjadi lebih terinci, makin luas dan makin berat bebannya. Jika pengertian tentang pendidik dan/atau guru sebagaimana yang tersurat dalam UU RI No. 14 Tahun 2005, pasal 1, ayat 1, dan UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 39, ayat 2 dan 3 di atas, dikaitkan dengan pasal 40, ayat 2 pada undang-undang yang sama, maka keduanya mengisyaratkan bahwa tugas kependidikan seorang pendidik sangat berat. Meskipun pada pasal 40 ayat 1 UU RI No. 20 tahun 2003 menegaskan tentang hak-hak yang harus diterima seorang pendidik berkaitan dengan tugas-tugasnya sebagai pendidik, tetapi pada ayat 2 menunjukkan beban tugas yang sangat berat bagi pendidik.

Pasal 40 ayat 1 berbunyi, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

(a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

(b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

(c) Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

(d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan

(e) kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Sementara itu, pada ayat 2 dinyatakan bahwa, "Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:

(a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;

(b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan

(c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Implementasi dari konsep normatif di atas menuntut adanya kerja keras pada pihak pendidik, baik dalam proses berpikir, maupun dalam proses implementasi tugas kependidikannya. Bersamaan dengan itu, tantangan eksternal makin keras pula mendera para pendidik, seiring merebaknya globalisasi informasi, barang dan hasil produksi. Oleh karena itu, jika bangsa dan negara ini menghendaki agar kewajiban pendidik dapat terlaksana dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat harus berperan aktif secara bersama-sama memenuhi hak-hak pendidik agar mereka mampu meminimalisasi bias berpikir, bertindak dan berkaryanya, sehingga tidak dengan mudah mereka meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pendidik yang profesional.

Bagaimana seorang pendidik akan mampu mengurangi bias berpikir, bertindak dan berkaryanya sebagai agen pembelajaran kalau kebutuhan primernya saja tidak mampu di atasi melalui hak-hak yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai pendidik? Lalu, bagaimana kualitas pendidikan dapat diaharapkan meningkat jika seorang pendidik atau guru tidak terfokus menjalankan kewajibannya sebagai agen pembelajaran? Bagaimana seseorang dapat diharapkan fokus bekerja jika biaya pengobatannya saja tidak mampu di atasi? Kadang harus ngutang duluan dan tidak mampu di atasi melalui hak-hak yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai pendidik. Masih banyak lagi deretan daftar pertanyaan yang menjadi tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok pendidik dalam era global sekarang, hingga ke masa depan.

B. TANTANGAN UMUM

Era globalisasi adalah era di mana batas-batas suatu wilayah tidak lagi menjadi penghalang keluar-masuknya berbagai informasi. Batas suatu wilayah makin tidak berarti bila ditinjau dari makin mudahnya suatu informasi merambah dan menyusup dari suatu tempat ke tempat lain. Informasi yang masuk ke dalam suatu negara tidak lagi terhalang oleh batas negara yang memiliki ragam budaya dan peradabannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan pendapat Tilaar (2000), yang menyatakan bahwa, kehidupan umat manusia dalam millenium yang baru mempunyai dimensi bukan hanya dimensi domestik, tetapi juga dimensi global. Aktivitas kehidupan sekarang demikian terbuka, dunia tanpa batas. Oleh karena itu, kehidupan global bukan hanya merupakan tantangan, tetapi juga membuka peluang-peluang baru di dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa era globalisasi adalah era kehancuran sekaligus sebagai era kemenangan. Kehancuran bagi budaya dan peradaban yang tidak sanggup lagi bersaing dengan budaya dan peradaban yang datang menggempur melalui informasi dari segala penjuru. Sementara itu, bagi budaya dan peradaban yang kuat akan tetap bertahan mengibarkan bendera kemenagannya.

Budaya dan peradaban merupakan serangkaian tata nilai yang menjadi kesepakatan bagi sekelompok orang dalam lingkup wilayah tertentu. Kemudian kesepakatan itu dijadikan pandangan dan kendali terhadap sikap dan perilaku mereka yang menyepakatinya. Oleh karena itu, jika pada suatu lingkup wilayah tertentu, budaya dan peradaban yang di dalamnya terkandung serangkaian tata nilai tidak lagi menjadi pandangan dan kendali bagi orang-orang yang berada di dalamnya, maka pada saat itu pulalah budaya dan peradaban tersebut hancur. Pada saat yang bersamaan pula muncul dan berkembanglah pandangan dan perilaku baru sebagai wujud budaya dan peradaban baru. Dahulu, memperbincangkan masalah "perilaku sex" sangatlah tabuh dan sangat susah untuk diakses, tetapi sekarang, "tari telanjang" pun sudah sampai dipertontonkan hingga di desa-desa, naudzubillahi min dzalik. Apakah hal semacam itu akan membudaya di masyarakat, terutama masyarakat Bugis yang terkenal religius?

Tantangan berat yang dihadapi oleh para pendidik pada era sekarang ini adalah masalah mempertahankan tata nilai yang dianggap baik untuk diteruskan kepada anak bangsa ini yang menjadi peserta didiknya, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang RI No. 20 tahun 2003, pasal 40 ayat 1 dan 2 di atas. Tidak terkecuali kepada siapapun, terutama bagi orang tua dan pendidik. Orang tua harus makin memperbaiki fungsi pembimbingannya pada anak-anaknya dalam lingkungan rumah tangganya dan pendidik harus makin meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan perannya di lembaga pendidikan yang dikelolanya dan lingkungannya. Pendidik yang berperan sebagai pengganti orang tua anak pada lembaga pendidikan harus melaksanakan tugas mendidik untuk meneruskan nilai-nilai yang dianggap baik kepada peserta didiknya. Tiga tugas utama pendidik yang tersirat dalam undang-undang tersebut di atas adalah mendidik, mengajar dan membimbing peserta didiknya.

Kemudian, berdasarakan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tugas pendidik yang paling berat untuk diwujudkan dalam mengahadapi tantangan era globalisasi sebagai tantangan umum adalah tugas mendidik di samping kedua tugas utama lainnya. Tugas mendidik bagi pendidik berarti melakonkan dan meneruskan serangkaian tata nilai yang dianggap baik dan terpuji kepada peserta didik dalam rangka membentuk sikap dan perilaku baru bagi mereka. Hal itu berarti bahwa tantangan utama yang harus di atasi oleh pendidik adalah pengaruh tata nilai baru yang tidak mendukung tata nilai yang akan diteruskan kepada peserta didiknya.

Roestiyah (1986), menyatakan bahwa yang menjadi pemikiran bagi semua ahli pendidikan dan pengajaran, ialah "Pendidik yang bagaimanakah yang diharapkan oleh masyarakat yang telah sedemikian majunya, terutama di Indonesia yang berpandangan hidup Pancasila?" Mampukah pendidik melakukan tindakan kependidikan dalam rangka mengatasi tantangan itu? Semoga saja mampu. Hal ini sangat bergantung pada dukungan konsep dan aksi dari seluruh komponen bangsa dalam sistem kehidupan berbangsa ini.

Tenaga adalah sosok penentu corak masa depan bangsa. Berkat jeri paya merekalah akan terpola sumberdaya manusia yang berkualitas atau sebaliknya. Seperti kata Moh. Uzer Usman, (1994) bahwa "Hari depan bangsa terletak di tangan para pendidik". Pendidik yang lemah dalam melaksanakan peran dan tugasnya menjadi pertanda buruk dan suramnya masa depan suatu bangsa. Pola sistem sosial yang akan terbentuk ke depan sangat bergantung pada pola pendidikan anak saat sekarang. Oleh karena itu titik sentral pergerakan kebudayaan bermula pada lembaga pendidikan hingga terbentuknya sistem sosial tertentu.

Sistem sosial hingga sekarang secara umum memandang bahwa sosok pendidik sebagai sosok yang harus berdiri tegak dengan segala kemampuannya dalam mengaktualisasikan tugasnya untuk mewariskan ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur, dan keterampilan yang tahan uji terhadap tantangan sistem sosial bagi peserta didiknya. Oleh karena itu, pendidik harus mampu mengemban tugas sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing. Atas dasar itu, tidak salah jika pada pundak mereka diletakkan tanggung jawab yang amat besar oleh para orang tua peserta didik, masyarakat, bahkan dari bangsa ini secara keseluruhan.

Sementara itu, tantangan yang mereka hadapi dalam menjalankan tugasnya makin banyak dan beragam jenisnya. Ditinjau dari makin gencarnya berbagai informasi yang dapat diakses oleh masyarakat, dapat dikatakan bahwa tantangan umum yang dihadapi oleh para pendidik adalah tantangan yang datangnya dari sistem sosial lingkungan tempat tinggal pendidik, peserta didik dan lingkungan lembaga pendidikan. Selain itu, krisis keuangan negara makin manambah berat tantangan umum yang harus mampu di atasi oleh seorang pendidik.

Mengapa demikian? Sangat mudah dipahami! Pergerakan harga kebutuhan berbanding kuadratis terhadap pergerakan pendapatan seorang pendidik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada sementara pendidik terpaksa melakukan kerja sampingan selain mengajar, dengan tujuan semata-mata untuk mempertahankan kepulan asap dapur diri dan keluarganya. Kerja sampingan yang terpaksa dilakukan akan menyita sebagian dari porsi waktu tugas kependidikan mereka, sehingga harapan untuk melakukan persiapan mengajar dengan baik susah tercapai. Jika persiapan mengajar seorang pendidik tidak maksimal, maka susah mengharapkan aktivitas mengajar yang baik dari mereka. Jika aktivitas mengajar kurang bagus, maka kualitas transformasi ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dari mereka kepada perserta didiknya tidak maksimal. Akibatnya, kualitas peserta didik juga akan menjadi rendah. Dampaknya secara luas adalah menurunnya kualitas istem sosial yang terbentuk dan peradaban bangsa yang dapat mereka teruskan.

Apakah cukup adil jika hanya pendidik yang harus berdiri tegak menantang badai peradaban? Laksana kayu bakar lalu jadi arang dan berakhir menjadi pahlawan tanpa tanda jasa? Orang bijak harus menjawab, tidak! Para pendidik hanyalah sekelompok orang yang berdiri sebagai komponen dari sistem kehidupan ini. Mereka bukanlah sosok malaikat yang tidak membutuhkan waktu, ruang dan berbagai fasilitas hidup di bumi ini. Mereka adalah manusia biasa seperti manusia pada umumnya yang menginginkan segala kebutuhannya terpenuhi. Mereka memiliki berbagai keterbatasan yang mengharuskan komponen lain dari sistem kehidupan ini memahami dan berperan-serta untuk melengkapi kekurangan pendidik dan mengatasi segala bentuk tantangan yang dihadapinya.

C. TANTANGAN SOSIAL EKONOMI

Pendidik sebagai manusia biasa sama seperti manusia lainnya pada umumnya. Mereka memiliki keluarga dan hidup dalam lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berinteraksi dengan keluarga sendiri dan masyarakat di sekitarnya merupakan tantangan tersendiri bagi pendidik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Interaksi yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak, baik pihak pendidik, keluarga pendidik maupun bagi pihak masyarakat. Kebutuhan yang ingin dipenuhi berupa kebutuhan primer, sekunder, kemewahan, dan kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan meperoleh penghargaan dari orang lain, rasa dan nikmat estetika. Pemenuhan berbagai jenis kebutuhan tersebut senantiasa berkaitan langsung dengan kondisi ekonomi seorang pendidik.

Jika seorang pendidik dalam memenuhi kebutuhannya hanya mengandalkan gajinya (untuk kondisi sekarang) sebagai seorang pendidik, maka pendidik terpaksa harus terus-menerus berpuasa senin-kamis. Atau seorang pendidik harus membujang sepanjang hidupnya. Kenapa demikian? Jawabnya, mudah saja, yakni tidak terciptanya keseimbangan antara pergerakan kenaikan gaji pendidik dan pergerakan kenaikan harga kebutuhan pokok pendidik. Kalau gaji pendidik bertambah mengikuti deret hitung linier, maka harga kebutuhan pokok pendidik mengikuti deret hitung kuadratis. Artinya, kalau gaji pendidik bertambah Rp 100,00 setiap tahun, maka harga kebutuhan pokok pendidik menjadi Rp 10.000,00 setiap tahun. Celaka tiga belas!

Kalau kondisi ketidakseimbangan antara gaji pendidik dan harga kebutuhan pokok pendidik terus berlangsung seperti itu, maka dapat diprediksi bahwa sepuluh tahun ke depan keluarga pendidik yang hanya mengandalkan gajinya untuk hidup akan berada dalam kelompok masyarakat di bawah garis kemiskinan. Pada saat yang bersamaan akan banyak pendidik berhenti jadi pendidik dan memilih pekerjaan lain untuk menunjang kehidupannya yang lebih layak. Berarti bencana besar bagi dunia pendidikan, begitu pula terhadap kelanjutan peradaban bangsa ini.

Sementara itu, pada umumnya orang sering berkomentar "rendahnya kualitas lulusan pendidikan formal sekarang, banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas mengajar pendidik". Namun sangat disayangkan, karena sangat jarang orang berkomentar, "rendahnya kualitas lulusan pendidikan formal sekarang karena kurangnya perhatian dan partisipasi orang tua, pemerintah, dan masyarakat terhadap hak-hak yang harus diberikan kepada pendidik berkenaan dengan tugas kependidikan yang diembannya. Apatah lagi upaya untuk mengatasi tantangan pelaksanaan tugas kependidikan pendidik di sekolah dan masyarakat. Banyak orang hanya tahu menyalahkan, tetapi tidak berdaya menunjukkan upaya solusinya. Apa tah lagi turut serta berpartisipasi dalam upaya pemecahan masalah, termasuk kesiapan dan kesidian mereka dalam meringankan beratnya tantangan tugas kependidikan pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan formal dan masyarakat.

D. TANTANGAN PROFESI DI LEMBAGA PENDIDIKAN

Lingkungan lembaga pendidikan tempat pendidik bekerja merupakan lingkup formal bagi seorang pendidik untuk melaksanakan tugas utamanya sebagai pengajar, pembimbing dan pendidik. Implementasi tugas pendidik di dalam lembaganya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Lingkungan lembaga pendidikan bukanlah lingkungan yang mendudukkan pendidik tanpa menghadapi tantangan, yang terkadang mengusutkan pikiran dan memenatkan badan. Berbagai tantangan harus mereka atasi. Mulai dari pekerjaan skala kecil, seperti persiapan mengajar hingga pada skala besar seperti pelaksanaan PBM dan penentuan nilai akhir peserta didiknya hingga pada melakonkan sikap dan perilaku tauladan, baik dalam lingkungan lembaganya maupun dalam lingkungan masyarakat di sekitarnya.

Tugas kependidikan bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakukannya, (Moh. Uzer Usman. 1994). Seorang guru yang profesional harus mampu mengimlemntasikan empat komptensi utama sebagai agen pembelajaran, yakni:

(1) komptensi pedagogik;

(2) kompetensi profesional;

(3) kompetensi kepribadian; dan

(4) kompetensi sosial, (PP RI No. 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).

Oleh karena itu, tidak semua orang mampu melakukan tugas tersebut dan mampu memahami kuantitas dan kualitas tantangan yang harus dihadapi dan diatasi.

Mengajar merupakan tugas yang tidak ringan bagi seorang pendidik. Pendidik berhadapan dengan sekelompok peserta didik. Mereka adalah makhluk hidup dengan karakteristiknya masing-masing yang unik. Mereka memerlukan bimbingan dan pembinaan dari pendidik sebagai pengajar pendidik dan pembimbing, (Roestiyah, 1986). Dengan karekteristik yang berbeda-beda dari peserta didik yang dihadapi mengahruskan pendidik melakukan persiapan mengajar dengan baik. Sementara itu, tantangan dalam pelaksanaannya pun juga tidak ringan.

Pendidik dalam melakukan persiapan mengajar harus terlebih dulu memahami karakteristik peserta didik yang akan menerima materi pelajaran. Selain itu, muatan materi pelajaran harus diselaraskan dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan peserta didik tanpa melupakan tingkat perbedaan karakteristik masing-masing peserta didik. Selanjutnya, materi pelajaran harus mengadung unsur pengetahuan, sikap dan keterampilan tertentu yang diselaraskan pula dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan peserta didik, (Mulyasa, 2003).

Langkah persiapan mengajar pendidik tidak berhenti sampai di situ, tetapi ia harus pula mampu menselaraskan materi yang akan dipersiapkannya dengan berbagai komponen atau fasilitas pendukung mengajar lainnya yang tersedia di sekolah, (Winarno Surakhmad, 1986). Hal itu penting mereka lakukan agar nanti dalam pelaksanaan PBM mereka tidak menemui berbagai kendala yang dapat menghalanginya mencapai tujuan belajar-mengajar yang telah direncanakan sebelumnya.

Lalu, apa yang harus mereka (pendidik/guru) lakukan jika fasilitas pendukung yang diperlukan untuk melakukan persiapan mengajar, seperti: buku sumber materi pelajaran, alat peraga dan atau media yang diperlukan dan sebagainya tidak tersedia di sekolah? Bukankah kondisi seperti ini merupakan tantangan pelaksanaan tugas yang cukup berat yang harus mereka hadapi dan atasi demi menggolkan tujuan belajar yang harus dicapai peserta didiknya? Bagaimana jalan keluarnya? Haruskah mereka menjadi kayu bakar, mengorbankan diri yang nota bene imbalan yang diterimanya sebagai pendidik telah mengalami berbagai pemotongan di sana-sini yang tidak jelas kontribusinya bagi mereka? Padahal gaji yang diterimapun sudah tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari.

Diperparah lagi oleh tertinggalnya pergerakan pendapatan dari gaji mereka bila dibandikan dengan pergerakan harga kebutuhan sehari-hari sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Salah satu hak yang harus diterima oleh seorang pendidik menurut pasal 40 ayat 1 Undang-undang RI No. 2 tahun 2003 adalah memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Dipertegas lagi oleh UU RI No. 14 tahun 2005, pasal 16, ayat 2 yang menyatakan bahwa guru yang telah memiliki sertifikat pendidikan berhak mendapat tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

Pernyataan layak dan memadai adalah dua kata yang tidak tegas batasan operasionalnya, meskipun pada pasal 14, ayat 1, poin a dan pasal 15 ayat 1 megasakan bahwa pengahsilan guru harus di atas kebutuhan hidup minimum. Hal ini dapat dan berpeluang menggiring para pendidik menjadi robot-robot bernyawa tak berdaya untuk menentukan posisi martabatnya dalam sistem sosial yang melingkupinya.

Sudah saatnya membuat batasan operasional tentang ukuran penggajian pendidik berkaitan dengan sistem sosial masyarakat. Misalnya, gaji para pendidik minimal 13 kali lipat lebih tinggi dari tingkat upah minimal regional (UMR). Hal ini diwacanakan karena dimensi tugas kependidikan para pendidik 13 kali lebih berat daripada tugas-tugas lainnya. Kesalahan pengelolaan dalam bidang ini akan berdampak celaka 13. Artinya, kesalahan pengelolaan bidang pendidikan sebagai salah sistem sosial akan menyebabkan terbentuknya suatu pola sistem sosial jahannam. Pola sosial kehidupan bertingkat tujuh yang sepola dengan segi tiga Pascal beralaskan tiga belas segi tiga sama sisi. Sistem semacam itu akan memposisikan guru sebagai alas segitiga pascal yang hasus memikul beban segi tiga di atasnya dengan porsi pembagian yang sama dengan posisi segitiga di atasnya. Kondisi tersebut dijabarkan seperti Gambar 1.

Siklus kerja pendidik tidak lantas terhenti pada persiapan mengajar saja, tetapi mereka harus terus bekerja mengimplementasikan persiapan mengajar yang telah dilakukannya dalam proses belajar-mengajar (PBM). Kemudian terus bekerja dan bekerja lagi hingga menetapkan suatu keputusan peniliaian seobyektif mungkin atas perubahan sikap dan perilaku yang diraih peserta didiknya yang telah mengalami PBM.

Tantangan apa lagi yang harus dihadapi pendidik dalam fase ini (fase PBM)? Berat! Memang sungguh berat! Pada fase kerja ini, pendidik harus berdiri melaksanakan PBM di hadapan peserta didik yang memilki rasa, cipta dan karsa yang membentuk karakteristik mereka masing-masing. Pendidik harus melaksanakannya dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik peserta didiknya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan melakonkan perilaku dalam rangka meneruskan perilaku yang berisi nilai-nilai luhur kepada peserta didiknya, selama berlangsungnya PBM.

PBM merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan pendidik sebagai pemegang peranan utama, (Moh. Uzer Usman, 1994). Kemudian Losanov (1978) dalam DePorter dkk. (2003), menyatakan bahwa PBM adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatunya berarti -setiap kata, pikiran, tindakan dan asosiasi- sejauh mana pendidik menggubah lingkungan, presentasi dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula PBM berlangsung.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pada fase pembelajaran inilah aktivitas pendidik yang paling sensitif, karena lakon yang diperankannya di depan peserta didik akan menjadi bibit pembentukan sikap dan perilaku baru bagi peserta didiknya. Lakon yang diperankan pendidik dengan baik, akan mengantarkan peserta didiknya memilki sikap dan perilaku yang baru dan baik pula. Lakon mereka yang jelek, akan mengantarkan peserta didiknya memilki sikap dan perilaku baru yang lebih jelek pula.

Atas dasar posisi guru sebagai pola lakon yang menentukan pola lakon bagi peserta didiknya, terkenallah seuntai kalimat sindiran bagi perilaku yang dilakonkan para pendidik, "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Pendidik yang melakonkan satu pelanggaran, akan menyebabkan peserta didiknya akan melakukan seribu satu macam pelanggaran. Begitu berat dan sensitifnya kerja pendidik pada fase ini. Inilah wujud tantangan yang sangat berat dan harus dilulusi oleh sosok seorang pendidik dalam mengemban tugas kependidikannya. Tantangan yang begitu berat dalam mengajarkan dan meneruskan nilai-nilai tertentu untuk membentuk sikap dan perilaku baru bagi peserta didiknya.

Selain itu, kerja pendidik pada fase ini harus mampu mengatasi bias atau pengaruh informasi yang mengandung nilai-nilai buruk, yang datangnya dari berbagai penjuru tanpa terbatas lagi oleh dimensi ruang dan waktu sebagai akibat dari era globalisasi informasi. Segala bentuk informasi yang datang dari luar lingkungan sekolah akan menjadi sebuah stimulus yang dapat menjadi unsur penghalang atau pendukung bagi peserta didik dalam menyerap ilmu pengetahuan, sikap dan perilaku yang diajarkan oleh pendidik di sekolah. Mampukah sosok seorang pendidik mengahadapi, mengendalikan dan mengatasi tantangan ini? Sangat banyak faktor yang harus dikaji, diuraikan dan dijelaskan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun demikian, secara umum, ada dua faktor utama yang harus dianalisis untuk menjawab tantangan ini, yakni: pertama faktor penghambat, dan yang kedua faktor pendukung.

Hal yang tak terbantahkan adalah adanya faktor-faktor yang dapat menghambat maupun yang mendukung pengimplementasian tugas pendidik dalam proses belajar bengajar (PBM). Faktor-faktor terserbut dapat bersumber dari diri pendidik, dari luar diri pendidik atau dari kedua-duanya, seperti kondisi ekonomi keluarga, status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan sampingan, perbedaan budaya, lokasi dan kondisi sekolah tempat menjalankan tugas kependidikan seorang pendidik, dan lain sebagainya.

Tantangan baru yang muncul kemudian dalam rangka pelaksanaan tugas keprofesionalan seorang guru atau pendidik, seiring dengan terbitnya UU RI No. 14 Tahun 2005 dan PP RI No. 19 tahun 2005 adalah tantangan normatif berupa sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru profesional. Meskipun di dalamnya ada harapan baru berkaitan dengan tingkat kesejahteraan guru, tetapi sekaligus menjadi buah kecemasan dan penantian yang belum pasti bagi pendidik atau guru.

Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Pemerolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru.

Ada dua kriteria utama yang menjadi syarat untuk sampai kepada maksud tersebut, yakni:

1. Memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1).

2. Memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran

(PP RI No. 19 Tahun 2007, pasal 28, ayat 1 - 3)

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1). Kualifikasi akademik, sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, (PP RI No.19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 2).

Selanjutnya, Kualifikasi Pendidik menurut tingkatan pendidikan formal tempat guru mengajar dijabarkan lebih lanjut pada pasal 29, ayat 1 - 6.

Pasal 1: Pendidik pada usia dini memiliki:

a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk PAUD.

Pasal 2: Pendidik pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SD/MI.

Pasal 3: Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SMP/MTs.

Pasal 4: Pendidik pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SMA/MA.

Pasal 5: Pendidik pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
b. Sertifikasi profesi guru untuk SDLB/SMPLB/SMALB.

Pasal 6: Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SMK/MAK.

Penjelasan konsep selanjutnya berkaitan dengan sertifiksi guru adalah kompetensi pendidik atau guru atau dosen. Kompetensi menurut Wibawa, Basuki, (2005), menggolongkan kompetensi menjadi tiga bagian, yakni: Kompetensi Individu; Kompetensi Kelompok; dan Kompetensi Inti Organisasi. Kompetensi individu adalah kombinasi pengetahuan, kemampuan/ keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang, termasuk guru SMK sehingga ia mampu melaksanakan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya (sebagai pendidik) baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Sementara itu, kompetensi kelompok adalah perpaduan kompetensi individu yang bersinergi untuk membentuk kompetensi inti organisasi. Kompetensi inti organisasi adalah keunggulan-unggulan sinergis yang dimiliki oleh suatu organisasi atau lembaga pendidikan sehingga mampu mencapai tujuannya dan menjawab permahsalahan dan tantangan implementasi program kerja yang dihadapi. Kompetensi organisasi biasanya dibangun melalui proses pertumbuhan pembelajaran yang melibatkan berbagai elemen organisasi dan sering kali menyita waktu yang panjang dan menyerap sumberdaya yang besar.

Gonczi (1997) dalam Wibawa, Basuki, (2005), menyatakan bahwa kompetensi merupakan kombinasi yang kompleks antara pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang ditunjukkan dalam konteks pelaksanaan tugas. Sementara itu, UU RI No. 14 2005, Pasal 1, ayat 10, menegaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dengan demikian, kompetensi guru merupakan karakteristik dasar yang titunjukkan oleh guru dalam bentuk pernyataan, sikap dan tindakan yang membentuk kepribadiannya yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain dengan performansi tinggi atau rendah dalam melaksanakan tugasnya di bidang pekerjaan tertentu dalam lembaga pendidikan.

Meskipun pengertian kompetensi secara umum telah dijelaskan di atas, tetapi secara rinci yang mengindikasikan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi: Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan Sosial, (UU RI No. 14 tahun 2005, pasal 10 ayat 1; dan PP RI No. 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).

Lulus uji kompetensi sebagai syarat untuk memperoleh sertifikasi profesi yang menandai layak tidaknya seorang pendidik menyandang sebutan pendidik profesional berimplikasi pada meningkatnya penghasilan pendidik. Pendidik yang menyandang sebutan profesional berhak memperoleh tunjangan prfesi sebesar satu kali gaji pokoknya. Pendapatan yang bertambah akan berimplikasi pula pada meningkatnya perhatian pendidik pada tugas pokoknya dan akan mengurangi porsi waktunya untuk bekerja "di luar" jam tugas pokoknya. Hal itu berdampak positif pada kualitas pengelolaan PBM yang dikelolanya. Selanjutnya, dapat diharapkan kualitas perserta didiknya meningkat pula. Pada akhirnya akan berdampak positif pada kualitas pendidikan pada umumnya.

PENUTUP

Setiap orang harus membuka mata dan hatinya untuk merenungkan dan menyadari bahwa betapa berat tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok seorang pendidik (UU RI N0. 20 tahun 2003, pasal 1, ayat 6). Dukungan jangan berhenti sampai di situ, tetapi setiap orang harus beraksi dan mengambil peran secara bersama-sama menurut kadar kemampuannya masing-masing untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pendidik. Kepada mereka para pendidiklah, masa depan dan peradaban bangsa ini dipertaruhkan.

Tugas kependidikan bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakukannya. Oleh karena itu, tidak semua orang mampu melakukan tugas tersebut dan mampu memahami kuantitas dan kualitas tantangan yang harus dihadapi dan diatasi. Dengan demikian, hanya pendidiklah yang tahu persis kadar tantangannya, sehingga hanya mereka pulalah yang layak menyuarakannya kepada publik. Orang lain hanya mampu mencermati dari sisi luarnya saja, sehingga analisis terhadap kuantits dan kualitas tantangan kependidikan yang dipublikasikan kadang kurang tepat dan tidak menguntungkan bagi pihak pendidik.

Berkenaan dengan itu, penulis sebagai salah seorang dari sekian ribu pendidik mencoba menyuarakan suara hati pendidik berkenaan dengan tantangan yang dihadapi sosok pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Ada tiga jenis tantangan utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi sosok seorang pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum. tantangan sosial ekonomi dan tantangan profesi di lembaga pendidikan dalam menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di atas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya.

Ketidakmampuan sosok seorang pendidik dalam mengatasi ketiga jenis tantangan tersebut akan mengakibatkan rendahnya kualitas lulusan dan kualitas pendidikan pada umumnya, serta menurunnya nilai-nilai peradaban bangsa di masa depan. Akibatnya eksistansi bangsa ini secara budaya dan politik terancam punah. Oleh karena itu, mulai saat sekarang ini perbincangan dan upaya sebagai aksi solusi untuk mengatasi tantangan tugas kependidikan pendidik perlu segera dilakukan dan diintensifkan pelaksanaannya.

DAFTAR BACAAN

Anonim. 2003. Undang Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Citra Umbara.

DePorter, Bobbi dkk. 2003. Quantum Tearching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas (terjemahan: Ary Nilalandari. 2000). Bandung: Kaifa, PT Mizan Pustaka.

Moh. Uzer Usman. 1994. Menjadi pendidik profesional. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum berbasis kompetensi konsep, karakteristik dan implementasi. Bndung: PT. Remaja Rosdakarya.

____________ 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Roestiyah, N.K. 1986. Masalah-masalah ilmu kependidikan. Jakarta: PT Bina Aksara.

Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Editor Cemerlang Jakarta. 2006. Undang Undang Guru dan Dosen. Jakarta: Cemerlang.

Wibawa, Basuki. 2005. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan: Manajemen dan Implementasinya di Era Otonomi. Surabaya: Kerta Jaya Duta Media.

Winarno Surakhmad. 1986. Pengantar interaksi belajar mengajar dasar dan teknik metodologi pengajaran, edisi ke V. Bandung: Tarsito.

Informasi Pendidikan

leh : Slameto, BK FIP UKSW
(Satya Wydya vol 15 No 1, 2002)

ABSTRAK Penelitian ini bermula dari adanya kesadaran akan peran orang tua utamanya ayah dalam pendidikan anak sesuai pilar MBS sebagai perwujudan reformasi pendidikan di Indonesia ditambah belum adanya studi tenatng itu. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi jenis peran ayah dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, seberapa tinggi tingkat peran ayah dan adakah hubungannya dengan prestasi belajar anak. Subyek penelitian ini 90 orang ayah dan 90 siswa kelas VI SD Laboratorium UKSW. Data yang dikumpulkan dengan angket dan studi dokumen daftar nilai ini dianalisa dengan teknik prosentase dan korelasi Kendall's Tau B dengan program SPSS Release 10.0. Hasil yang diperoleh ternyata peran ayah adalah sebagai provider (pada aras tinggi), pembimbing/ promblem solver (pada aras sedang), pendidik/teacher (pada aras tinggi), dan teladan/model (pada aras sedang). Terdapat hubungan positif dan signifikan antara peran ayah sebagai provider dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, nilai IPA dan IPS anaknya; Kegiatan ayah "menyediakan tempat belajar" dan "memberitahu cara mengatur jadwal" berkorelasi positif dengan nilai IPA, dan kegiatan "menandatangani buku konsultasi/PR" dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, Bahasa Indonesia dan IPS.


Selain itu juga terdapat korelasi negatif antara peran ayah sebagai pembimbing/problem solver dengan nilai Matematika anak; Kegiatan "memberitahu langkah-langkah yang perlu dilakukan" dengan nilai Matematika, "menanyakan apakah ada PR/tugas" dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, "menanyakan nilai yang diperoleh anak" dengan nilai Bahasa Indonesia, dan "menjelaskan perlunya belajar/sekolah dengan rajin" dengan nilai Bahasa Indonesia, Matematika dan IPS. Dengan temuan seperti itu, perlu disadari oleh guru/sekolah betapa pentingnya peran ayah dalam upaya peningkatan mutu/prestasi belajar siswa apalagi dalam dan melalui MBS.


Kata kunci : peran ayah : provider, problem solver, teacher, model, dan presstasi belajar. PENDAHULUAN
Ki Hajar Dewantoro memiliki keyakinan bahwa pendidikan bagi bangsa Indonesia harus dilakukan melalui tiga lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai sekarang keluarga selalu berpengaruh besar terhadap perkembangan anak manusia.


Sesuai UUSPN pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah sebagai pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak ialah dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan informal/keluarga ke formal/sekolah memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Sikap anak terhadap sekolah terutama akan dipengaruhi oleh sikap orang tua mereka. Sehingga diperlukan kepercayaan orang tua terhadap sekolah (pendidik) yang menggantikan tugasnya selama di sekolah (Idris, Z, 1981). Orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan menghargai usaha-usahanya, menunjukkan kerjasamanya dalam cara anak belajar di rumah dan atau membuat pekerjaan rumahnya.


Peranan orang tua bagi pendidikan anak menurut Idris dan Jamal (1992) adalah memberikan dasar pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasan-kebiasan. Selain itu peranan keluarga adalah mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, ada kontinuitas antara materi yang diajarkan di rumah dan materi yang diajarkan di sekolah (Bandingkan dengan Peters, 1974).


Dinamika kehidupan yang terus berkembang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap kehidupan keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan yang menerpa keluarga beserta dampak krisis yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dan pandangan tentang fungsi dan peran keluarga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan mendasar tentang kehidupan keluarga. Struktur, pola hubungan, dan gaya hidup keluarga banyak mengalami perubahan. Kalau dulu biasanya ayah berperan sebagai pencari nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola utama kehidupan di rumah, maka sekarang banyak di antara keluarga (khususnya di kota-kota) yang tidak lagi seperti itu. Begitu pula kebiasan hidup lama dalam keluarga besar dengan banyak saudara yang disertai kakek/nenek dan bertetangga dengan famili dekat, maka sekarang banyak di antara keluarga yang kondisinya sudah menjadi sangat lain. Sekarang mereka hidup dalam keluarga-keluarga kecil tanpa nenek dan kakek dengan lingkungan tetangga yang sama-sama sibuk dan bukan saudara lagi.


Terlepas dari ragam dan jenis permasalahan keluarga yang begitu banyak, demikian juga bentuk dan wujud perubahan-perubahan yang terjadi, pergeseran-pergeseran tersebut membuat semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan yang dialami keluarga yang pada gilirannya akan memberikan dampak tertentu terhadap pendidikan anak. Untuk dapat berkembang secara sehat dan sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, dengan sendirinya anak dan orang tua perlu melakukan penyesuaian (Semiawan, C.R. 1999/2000).


Pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak telah disadari oleh banyak fihak, kebijakan manajemen berbasis sekolah (MBS) dalam reformasi pendidikan pun menempatkan peranan orang tua sebagai salah satu (dari 3) pilar keberhasilannya.


Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bila orang tua berperan dalam pendidikan, anaknya menunjukkan peningkatan prestasi belajarnya, diikuti dengan perbaikan sikap, stabilitas sosio-emosional, kedisiplinan, serta aspirasi anaknya untuk belajar sampai di Perguruan Tinggi, bahkan setelah bekerja dan berkeluarga (NCES: 1998, Daugherti dan Kurosaka: 2002). Peranan ayah menjadi menarik untuk dikaji mengingat makin banyak ibu yang semula sebagai ibu rumah tangga kini menjadi wanita karir/bekerja sehingga kesempatan, perhatian, dan perlakuannya terhadap anak menjadi berkurang. Konsekuensinya semula ayah di samping tetap berkonsentrasi sebagai tulang punggung ekonomi keluarga yang tetap bekerja juga di tuntut lebih banyak berperan dalam pendidikan anaknya.


Berdasarkan hasil penelitian di AS terhadap 15.000 remaja sebagai sampelnya menujukkan jika peranan ayah dalam pendidikan anak berkurang/ terabaikan atau tak dilakukan maka terjadi peningkatan yang signifikan: (1) Jumlah anak putri belasan tahun hamil tanpa menikah, (2) Kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, dan (3) Patologi psiko-sosial (Daugherti dan Kurosaka: 2002). Lebih lanjut ditemukan juga bahwa absennya peranan ayah jauh lebih signifikan dampak negatifnya bagi anak (seperti di atas) dibanding absennya peranan ibu. Maka wajar jika US Departemen of Justice pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidak-adanya peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya (Fathering Interprises: 1995-1996).


Sebaliknya, sejalan dengan temuan Daugherti dan Kurosaka (2002), jika dalam keluarga ayah berperan dalam pendidikan anaknya, akan meningkatkan prestasi belajarnya, pengembangan potensi keteguhan perkawinannya kelak setelah dewasa/berkeluarga (Mitcalf: 2002). Mengingat demikian penting peranan ayah apalagi dalam masyarakat yang patrilinear ini, maka studi tentang peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi bermanfaat dalam reformasi pendidikan utamanya melalui peningkatan mutu atau yang lebih populer dengan MPMBS, apalagi dikaitkan dengan prestasi belajar anak. Selain itu, studi ini juga mendesak mengingat sepanjang pengetahuan penulis, studi semacam ini belum ada di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diidentifikasi minimal 5 masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apa peranan orang tua - terutama ayah - dalam pendidikan anak, jika telah ditemukan, adakah perbedaannya dengan peranan ibu?
2. Seberapa tinggi peranan ayah bagi anaknya laki maupun perempuan, adakah perbedaannya?
3. Adakah hubungan peranan ayah dengan tingkat pencapaian hasil belajar (bidang akademik) anaknya?
4. Apakah terdapat hubungan antara peranan ayah dengan perkembangan anak dalam bidang perkembangan kepribadian, sosial, dan moral?
5. Apa yang dapat dilakukan oleh guru/sekolah yang memegang satu pilar MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui kerjasama dengan orang tua agar berperan dalam pendidikan anaknya. Mengingat terbatasnya dana, waktu, dan tenaga, maka penulis memilih dan membatasi masalah penelitian ini hanya pada no 1, 2, dan 3 di atas itupun difokuskan hanya pada peranan ayah dengan mengabaikan perbedaan terhadap anak laki/perempuan. Penelitian dilakukan di SD Laboratorium UKSW Salatiga.


TINJAUAN PUSTAKA
Dalam keluarga A.S. seperti yang diamati McAdoo (2002) berkaitan dengan peran ayah disimpulkan bahwa banyak ayah yang mengambil bagian dalam pendidikan anaknya, membahasnya dengan guru tentang penyesuaian anaknya, dan mengajarkan tentang ketrampilan-ketrampilan menghadapi tantangan di masyarakat. Untuk itu ayah memainkan peranan sebagai: (1) Provider (penyedia dan pemberi fasilitas), (2) Protector (pemberi perlindungan), (3) Decision Maker (pembuat keputusan), (4) Child Specialiser and Educator (pendidik dan yang menjadikan anak sosial) dan (5) Nurtured Mother (pendamping ibu).


Menurut Riley & Shalala (2000) dan Brown (2000) peran ayah itu spesial karena mempunyai efek bagi anak "What's Special about Father's Involvement?". Menurutnya ada 4 peran yaitu: (1) Modeling adult male behavior, (2) Making Choices, (3) Problem Solving abilities, (4) Providing Finansial and Emotional Support. Sedangkan Evans (1999) menyebut peranan ayah pada umumnya itu dengan Five Ps yaitu: (1) Problem-Solver, (2) Playmate, (3) Punisher, (4) Provider, dan (5) Preparer.


Selanjutnya dengan mengadakan analisa faktor DADS inventory, Hilliard (1996) menemukan peran ayah dalam hubungannya dengan anak menjadi 3 faktor yaitu Communication, Commitment, dan Religiosity.


Jain, Belsky dan Crnic (1996) menyimpulkan peran ayah kedalam 4 tipe yang ditentukannya yaitu (1) Caretakers, (2) Playmates-Teacher, (3) Disciplin-arians, dan (4) Disengaged. Beda dengan Hart (1999) yang tegas langsung mengatakan arti keterlibatan ayah bagi anaknya sebagai: (1) Economic Provider, (2) Friend and Playmate, (3) Caregiver, (4) Teacher and Role Model, (5) Monitor and Disciplinarian, (6) Protector, (7) Advocate, dan (8) Resource. Rocky Mountain Family Council (2002) mengutip Kyle Pruett yang menyatakan bahwa anak-anak yang sukses ayahnya mendemonstrasikan: tanggung jawab, membantu membentuk perilakunya yang tepat dan mantap, memberi contoh bagaimana menghadapi (persoalan) hidup sehari-hari, serta perlunya prestasi (belajar) dan produktivitas.


Selanjutnya berkaitan dengan apa yang dilakukan ayah dalam memainkan peranan bagi pendidikan anaknya. Seiderman dalam Parenting Pathaways (1998) menyatakan peran ayah itu adalah: (1) Spend as much time with your child as possible, (2) Take an active role in your child development, (3) Get involved with your child's education, (4) Be a role model for your child, (5) Make sure your child is in good health.


The Family Workers (2002) menyimpulkan bahwa ayah siswa SD s/d SMTA sekarang ini terlihat berperan serta dalam membantu anak dalam belajar/mengerjakan PR, pada akhir pekan mengajak anak-anaknya ke museum, dan menjadi relawan di sekolah anaknya. Sedangkan menurut Jacobson (1996) khusus bagi anak perempuan peranan yang disarankan agar ayah: (1) Do something you're comportable with, (2) Don't under estimate the kids, (3) Hold their attention, and (4) Enjoy yourself, sesudah ke 4 hal tadi kemudian terlibatlah dengan (5) Let the girl do the work, and (6) Get other father's involved.


Dalam keluarga menurut Riley & Shalala (2000) ayah dapat (1) Read with their children, (2) Establish a daily routine, (3) Make the most of bedtime, and (3) Bedtime is a terrific opportunity for fathers to connect with their children. Sedangkan menurut Bloir (2002) terdapat 10 langkah kegiatan untuk menjadi ayah yang lebih baik di rumah yaitu: (1) Use genuine encounter moments, (2) Actions speak louder than words, (3) Give children appropriate ways to feel power, (4) Use natural consequences, (5) Use logical consequences, (6) Withdraw from conflict, (7) Separate the deed from the doer, (8) Be consistent and follow through, (9) Parent with the "end" in mind, and (10) Be kind and firm at the same time.


Di sekolah Menurut Riley & Shalala (2000) ayah dapat: (1) Participate in efforts to keep their children's schools or childcare centers safe, (2) Plan for the future by talking with their children and school counselors about future high school courses and postsecondary career options, (3) Attend parent-teacher conferences and school or class events, (4) Volunteer at school, (5) Visit their child's school or center, (6) Meet their child's teachers and learn about school curriculum, and how to become involved in activities, (7) Pitch in to help meet school and program needs, such as installing new playground equipment, cooking at a school picnic or painting and repairing school property, and (8) Join the Parent Teacher Association or other parent groups at their child's school or childcare center. Menurut The Family Works ( 2002) ayah di sekolah berperan sebagai berikut: (1) Impress on your child how important it is to get a good education and to do your very best at school, (2) visit your child's classroom, volunteer to chaperon a field trip, prepare a treat for a special occasion, (3) talk with your child at home about what is happening at school, and (4) initiate contact with school staff. Di masyarakat menurut Riley & Shalala (2000) ayah dapat: (1) Play or coach a game or sport they like with their children on a regular basis, (2) Become involved in community activities by joining a community group, place of worship, union or professional group to participate with their children in an ongoing service activity, (3) Take time for family outings to places such as libraries, zoos, museums, concerts and sports events or other recreational events, and (4) Use their community learning center to participate in after-school and evening educational and recreational activities.


Pada akhirnya NCOFF (2001) telah berhasil mengembangkan indikator ayah sebagai kerangka kerja/alat untuk penelitian kuantitatif maupun kualitatif sebagai berikut: (1) father presence - engagement, availability and responsibility; (2) care-giving - nurturance and maintenance of child's well-being, health and appearance; (3) social competence - efforts to develop and enhance child's social competence and academic achievement; (4) cooperative parenting - parents and other caregivers have a supportive, interdependent relationship aimed at optimal child development; (5) fathers' healthy living - serving as a role model through healthy lifestyle, education and appropriate social behaviors; and (6) material and financial contributions - engaging in consistent activities that provide material and financial support to children. Berdasarkan penelusuran literatur seperti di atas dapatlah penulis fahami bahwa peranan ayah dalam pendidikan anak adalah seperangkat kegiatan terpola yang biasa/sering dilakukannya sebagai: 1. Provider yaitu Penyedia fasilitas belajar: tempat dan peralatan belajar, buku dan alat-alat tulis, jadwal belajar dan kegiatan sehari-hari, buku konsultasi/PR/ latihan. 2. Teacher atau Pendidik: menjelaskan perlunya dan menasehati agar belajar dengan rajin dan berprestasi, apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan, menegur bila anak lali tugas dan memberi sanksi jika dipandang perlu. 3. Problem Solver atau Pembimbing: membantu memcahkan masalah anak dan pembuat keputusan dalam belajar/sekolah, menyangkut langkah-langkah apa saja yang ditempuh anak dalam belajar, menceknya, dan menanyakan nilai yang diperoleh di sekolah. 4. Model atau Teladan kehidupan rutin setiap hari: mengatur waktu nonton TV, menyuruh anak belajar sesuai jadwal.


PERAN AYAH DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRESATASI BELAJAR ANAK


Ayah menurut Bloir (2000) dapat berperan penting bagi perkembangan pribadi anak, baik sosial, emosional maupun itelektualnya. Pada diri anak akan tumbuh motivasi, kesadaran dirinya, dan identitas skill serta kekuatan/ kemampuan-kemampuannya sehingga memberi peluang untuk sukses belajarnya, identitas gender yang sehat, perkembangan moral dengan nilainya dan sukses lebih primer dalam keluarga dan kerja/kariernya kelak. Terhadap semua itu pengaruh peran ayah yang paling kuat adalah terhadap prestasi belajar anak dan hubungan sosial yang harmonis.


Menurut National Parent Teacher Asosiation (2002) yang mendasarkan hasil-hasil penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio-emosional, ketrampilan kognitif, pengetahuan dan bagaimana anak belajar sehingga prestasi belajarnya lebih tinggi sering mendapat nilai A (9-10), kehadiran sekolah lebih tertib/disiplin serta aktif dalam ekstrakurikuler, menyelesaikan dengan tepat dan benar PR, bersikap lebih positif terhadap sekolah, masuk ranking yang lebih tinggi dan setamat SMTA memasuki Perguruan Tinggi favorit.


Di samping siswa mendapat nilai yang tinggi, mereka memiliki sikap yang positif terhadap sekolah sehingga rajin mengikuti kegiatan baik intra maupun ekstra kurikuler, akan menangkal anak dari keterlibatannya dalam kenakalan remaja, seperti mangkir, tawuran, miras, narkoba, kehamilan dini dan kriminalitas (bandingkan dengan Hart 2002, ESRC, 2001, Brown, 2000, Riley dan Shalala, 2000, Evan, 1999, Nord, 2000, US Dept. of Education, 2002).


Bagaimana sederet pengaruh positif itu terwujud? Menurut Hart (1999) sesuai peran ayah sebagai "Economic Provider," ayah memenuhi kebutuhan finansial anak untuk biaya sekolah, membeli peralatan belajar, dan perlengkapannya sehingga anak merasa aman mengikuti pelajaran, dan dapat belajar dengan lancar di rumah; Sebagai "Friend and Playmate", melalui permainan dengan anak, ayah dapat bergurau/humor yang sehat, dapat menjalin hubungan yang baik sehingga problem, kesulitan dan stress dapat dikeluarkan, pada akhirnya tidak mengganggu belajar dan perkembangannya; Sebagai "Caregiver" ayah dapat dengan sering melakukan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk sehingga membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan; Sebagai "Teacher and Role Model" ayah bertanggung jawab mengajari tentang apa saja yang diperlukan anak untuk kehidupan selanjutnya dalam berbagai kehidupan melalui latihan dan teladan yang baik sehingga berpengaruh positif bagi anak; Sebagai "Monitor and Disiplinarian", ayah memonitor/mengawasi perilaku anak, begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan bisa segera terdeteksi sehingga disiplin perilaku anak bisa pula segera ditegakkan; Sebagai "Protector" ayah mengontrol dan mengorganisasi lingkungan anak sehingga anak terbebas dari kesulitan resiko/bahaya selagi ayah atau ibu tidak bersamanya; Sebagai "Advocate" ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada kesulitan/masalah, dengan demikian anak merasa aman, tidak sendiri, dan ada tempat untuk berkonsultasi, dan itu adalah ayahnya sendiri; Sebagai "Resource" dengan berbagai cara dan bentuknya, ayah dapat mendukung keberhasilan anak (bandingkan dengan Byrum 1996, Riley dan Shalala 2000, Brown 2000).


Hasil penelitian US Departement Of Education yang di acu Wood Elementary Dad's Club (2002) diperoleh bahwa siswa-siswa yang mendapat nilai A (Setara 9-10) ternyata 51% ayah dan ibu yang berperan pada aras tinggi, atau 48% hanya ayah saja yang berperan tinggi, atau 44% hanya ibu saja yang berperan tinggi, dan atau 27% baik ayah maupun ibu yang berperan pada aras yang rendah. Sedangkan di kalangan siswa yang tinggal klas, 6% saja yang baik ayah maupun ibu berperan tinggi, atau 9% hanya ibu saja yang berperan tinggi, dan atau 21% baik ayah maupun ibu yang berperan rendah. Ditemukan juga oleh Nord (1998) bahwa dikalangan siswa yang mendapat nilai A (setara 9-10) separo siswa ternyata hanya ayahnya saja yang berperan pada aras tinggi, dan sepertiga siswa ternyata ayahnya hanya berperan pada aras yang rendah. Berdasarkan paparan di atas dapatlah difahami betapa penting peranan ayah bukan hanya untuk keberhasilan belajar anak, tetapi juga untuk keseluruhan aspek perkembangan anak baik masa anak sekolah bahkan sampai anak dewasa berkeluarga dan berkarya. Sehubungan dengan prestasi belajar anak, ternyata peran ayah jauh lebih signifikan daripada peran ibu. Besarnya pengaruh peran ayah yang tinggi ternyata dua kali lipat dari peran ayah yang rendah.


HASIL PENELITIAN
Angket yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari 15 item yang sudah teruji memenuhi sayarat yaitu memiliki Corrected item-total correlation minimal 0,400., dan memiliki reliabilitas Alpha sebesar 0,8377 dan ini termasuk kategori bagus (good) (Suhartono, 1999). Hasil analisis diperoleh jumlah ayah yang berperan bagi anaknya seperti tabel 1 berikut ini. Tabel 1
Jumlah/prosentase ayah menurut peran/kegiatannya
No Peran /Kegiatan Jumlah %
I Provider 67 74,4
1. Menyediakan tempat belajar yang memadai. 76 84,4
2. Membelikan buku dan alat-alat tulis. 71 78,9
3. Memberitahu bagaimana mengatur jadwal kegiatan belajar. 55 61,1
4. Menandatangani buku konsultasi/PR. 66 73,3
II. Pembimbing/Problem Solver 48,8 54,2
5. Memberitahu langkah-langkah yang harus dilakukan dalam belajar. 56 62,2
6. Menanyakan apakah ada PR/tugas-tugas yang perlu dikerjakan 46 51,1
7. Mencek apakah anak sudah belajar/mengerjakan tugas-tugasnya. 35 38,9
8. Menanyakan nilai/hasil belajar anak. 46 57,1
9. Menanyakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak. 61 67,8
III. Pendidik/Teacher 67,3 74,7
10. Menjelaskan mengapa anak perlu belajar dan sekolah dengan rajin. 67 74,4
11. Memberitahukan hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak di sekolah dan rumah dalam belajar. 56 62,2
12. Menegur bila anak lalai tugas/tanggung jawab. 67 74,4
13. Menasehati anak agar belajar dengan sungguh-sungguh agar memperoleh nilai yang tinggi. 79 87,8
IV. Teladan/Model 50 55,5
14. Mengatur waktu anak dan belajar menonton TV/video. 50 55,5
15. Menyuruh anak belajar sesuai jadwal. 50 55,5


Berdasar data tersaji di atas, ternyata tidak ada satu kegiatan pun yang tidak dilakukan oleh ayah. 15 kegiatan yang menjadi indikator peran ayah di atas ternyata kegiatan yang paling sedikit dilakukan oleh ayah adalah "mencek apakah anak sudah belajar/mengerjakan tugas-tugasnya" (dilakukan oleh 35 orang atau 38,9 % ayah), dan yang paling banyak adalah "menasehati anak agar belajar dengan sungguh-sungguh agar memperoleh nilai yang tinggi" (dilakukan oleh 79 orang atau 87,8 % ayah). Dengan demikian keempat peran ayah dilakukan oleh hampir 50 % atau lebih orang. Peran yang paling banyak dilakukan adalah sebagai provider, dan yang paling rendah adalah sebagai pembimbing. Sebagai pembanding, hasil penelitian Lightfoot (2002) ternyata 40 % ayah tidak pernah membaca untuk anaknya, 58 % tak pernah jadi relawan di sekolah anaknya, 77 % tidak pernah makan bersama anak, dan kurang dari 50 % yang tahu nama guru-guru di sekolah anaknya.


Selanjutnya sebagai variabel interval, jumlah (%) ayah sesuai perannya dapat disajikan dalam tabel 2 berikut ini .
Tabel 2
Jumlah (%) ayah menurut tingkat peran yang dimainkanya
No Peran Ayah Rendah (0,00-0,33) Sedang (0,34-0,66) Tinggi(0,67-1,00) Mean Sd
1. Provider 13,4 12,2 74,4 0,7444 0,3067
2. Pembimbing 28,9 33,3 37,8 0,5422 0,3355
3. Pendidik 13,4 13,4 73,2 0,7472 0,3182
4. Teladan 32,2 24,4 43,3 0,5556 0,4335
5. Dalam Penddk 11,1 45,5 43,3 0,6474 0,2602


Berdasarkan hasil analisa pada tabel di atas ternyata distribusi data menyebar pada tiap kategori peran, walaupun kegiatan peran yang pada umumnya dilakukan ayah adalah sebagai provider dan pendidik (hampir tiga perempat ayah memainkan peran ini pada aras yang tinggi). Sedangkan dua peran yang lain yaitu sebagai pembimbing dan teladan hanya dimainkan oleh sekitar 40 % ayah pada aras yang tinggi. Sebagian besar ayah memainkan kedua peran tersebut pada aras sedang. Secara keseluruhan sebagian besar ayah berperan dalam pendidikan anaknya berada pada aras yang sedang cenderung tinggi. Sebagai pembanding, hasil penelitian Nord (1998) ternyata 27 % ayah berperan di sekolah anaknya pada aras tinggi, dan 50 % pada aras yang rendah. Distribusi prestasi belajar siswa yang ayahnya berperan seperti di atas dapatlah disajikan dalam rangkuman tabel 3 berikut.
Tabel 3
Gambaran prestasi belajar siswa
No. Mata Pelajaran 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
1. Bahasa Indonesia 0 0 9 17 36 23 8,0059
2. Matematika 1 14 25 19 18 8 6,8647
3. Ilmu Pengetahuan Alam 1 10 17 29 21 7 7,0706
4. Ilmu Pengetahuan Sosial 0 8 21 30 24 2 7,0882
5. Rata-rata semua mata pelajaran 0 3 20 40 22 0 7,4300


Berdasarkan data di atas ternyata nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan yang terbaik karena sebagian besar siswa memiliki nilai 8 - 9. Sedangkan mata pelajaran Matematika yang terjelek karena hampir separo siswa memiliki nilai 4 - 6. Terdapat 34 siswa yang nilainya di bawah 6/merah pada mata pelajaran Matematika, IPA dan IPS.


HUBUNGAN PERAN AYAH DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAKNYA
Sebelum dilakukan analisa lanjut, penulis perlu menguji asumsi yang dipersyaratkan sebelumnya untuk menetapkan bisa tidaknya menggunakan tehnik analisa korelasi. Hasil analisis uji kenormalan variabel diperoleh seperti terangkum dalam tabel 4 berikut.
Tabel 4
Rangkuman hasil uji kenormalan variabel penelitian
Variabel Kolmogorov - Smirnov
Statistik Df Sig.
1. Nilai rata-rata2. Peran ayah 0,0750,091 8585 0,200*0,079*


Mengingat hasil uji seperti di atas dimana signifikansi nilai rata-rata = 0,200 lebih besar dari a = 0,05 maka variabel rata-rata nilai siswa termasuk berdistribusi normal, demikian juga variabel peran ayah di mana signifikansi = 0,079 > 0,05.
Selain uji normalitas penulis juga mengadakan uji homogenitas dari dua variabel yang diteliti dan hasilnya seperti terangkum dalam tabel 5 berikut.
Tabel 5
Rangkuman hasil uji homogenitas variabel penelitian
Variabel Levene Statistik Df 1 df 2 Sig.
Nilai rata-rataPeran ayah 7,1554,289 11 8383 0,0090,041


Berdasar hasil analisa di atas ternyata diperoleh signifikansi nilai rata-rata = 0,009 dan ini lebih kecil dari a = 0,05 sehingga variabel ini tidak homogen. Demikian juga peran ayah di mana signifikansinya = 0,041 lebih kecil dari a = 0,05. Mengingat syarat homogenitas variabel tidak terpenuhi, maka penulis menetapkan analisa selanjutnya dengan tehnik non parametrik dan dipilih korelasi Kendall's Tau B.
Dengan menggunakan analisis korelasi Kendall's Tau B diperoleh hasil yang terekap dalam tabel 6 berikut.
Tabel 6
Rekap hasil analisis Korelasi Kendall's Tau B
Variabel Nilai Rata-rata Bahasa Indonesia Matematika IPA IPS
Peran ayah r - 0,033 0,000 - 0,069 - 0,033 0,000
sig. 0,331 0,500 0,193 0,340 0,498
Provider r 0,152* 0,127 0,084 0,212** 0,188*
sig. 0,024 0,080 0,169 0,008 0,017
Pembimbing r - 0,111 - 0,137 - 0,144* - 0,065 - 0,084
sig. 0,082 0,056 0,043 0,220 0,160
Pendidik r - 0,047 - 0,095 - 0,119 - 0,069 - 0,091
sig. 0,286 0,146 0,087 0,216 0,150
Teladan r - 0,020 0,045 - 0,040 - 0,087 0,010
sig. 0,407 0,313 0,330 0,167 0,454
* = signifikan pada a = 0,05
** = signifikan pada a = 0,01


Berdasarkan hasil analisa korelasi di atas ternyata cukup mengejutkan karena secara keseluruhan peran ayah dalam pendidikan anak tidak berkorelasi baik dengan rata-rata nilai mata pelajaran anaknya maupun dengan nilai Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. Namun setelah dilihat tiap perannya, sebagai Provider peran ini berkorelasi positif dan signifikan dengan nilai rata-rata semua mata pelajaran juga dengan nilai IPA dan IPS, sedangkan sebagai pembimbing justru berkorelasi negatif dan signifikan dengan nilai pelajaran matematika anaknya. Sedangkan sebagai Pendidik dan Teladan tidak berkorelasi dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, dan dengan 4 mata pelajaran yang lain.


Mengingat sebagai variabel peran ayah tidak berkorelasi dengan prestasi belajar anaknya, maka penulis menganalisa lebih lanjut korelasi tiap kegiatan dengan nilai mata pelajaran yang hasilnya tersaji dalam tabel 7 berikut.


Tabel 7
Rekap hasil analisis korelasi Kendall's Tau B kegiatan ayah dalam memainkan peranannya dengan prestasi belajar anaknya


No Peran/Kegiatan Nilai Rata-rata Bhs. Ind Mat. IPA IPS
1. Menyediakan tempat belajar r 0,109 0,007 0,050 0,157* 0,060
sig. 0,114 0,472 0,300 0,050 0,266
2. Membelikan buku dan alat-alat tulis. r 0,031 0,068 0,003 0,115 0,060
sig. 0,367 0,241 0,489 0,114 0,266
3. Memberitahu pengaturan jadwal r 0,075 0,110 -0,019 0,187* 0,105
sig. 0,203 0,958 0,422 0,025 0,135
4. Menandatangani buku konsultasi/PR r 0,179* 0,160* 0,119 0,141 0,183*
sig. 0.024 0,049 0,105 0,069 0,027
5. Memberitahu langkah-langkah belajar r -0,086 -0,157 -0,196* -0,078 -0,073
sig. 0,170 0,60 0.020 0,206 0,223
6. Menanyakan PR/tugas r -0,175* -0,115 -0.128 -0,139 -0,156
sig. 0,026 0,119 0,089 0,072 0,050
7. Mencek anak belajar r -0,095 -0,130 -0,093 -0,090 -0,076
sig. 0,147 0,091 0,162 0,173 0,214
8. Menanyakan nilai anak. r -0,088 -0,162* -0,073 0,027 -0,103
sig. 0,164 0,048 0,221 0,414 0,141
9. Menanyakan kesulitan anak r 0,008 0,013 -0,078 0,032 0,082
sig. 0,465 0,449 0,207 0,367 0,195
10. Menjelaskan perlunya belajar r -0,142 -0,191* -0,237** 0,037 -0,190*
sig. 0,058 0,025 0,006 0,348 0,023
11. Memberitahukan aturan belajar. r 0,010 -0,049 -0,028 0,017 -0,017
sig. 0,455 0,308 0,383 0,429 0,427
12. Menegur anak r 0,059 0,080 0,038 -,047 -0,005
sig. 0,257 0,206 0,343 0,312 0,480
13. Menasehati agar belajar sungguh 2 r -0,067 -0,079 -0,115 -0,073 -0,073
sig. 0,231 0,207 0,113 0,222 0,222
14. Mengatur waktu belajar/menonton TV r 0,063 -0,045 -0,106 -0,101 0,049
sig. 0,242 0,321 0,132 0,145 0,302
15. Menyuruh belajar sesuai jadwal. r 0,030 0,116 0,035 -0,052 0,067
sig. 0,369 0,116 0,356 0,293 0,242
* = signifikan pada a = 0,05
** = signifikan pada a = 0,01


Berdasar hasil analisa korelasi Kendall's Tau B seperti tersaji di atas ternyata dari ke 15 item kegiatan terdapat 7 item yang berkorelasi dengan prestasi belajar anak. Tiga kegiatan berkorelasi positif dan signifikan yaitu: 1) "Menyediakan tempat belajar yang memadai", dan 2) "Memberitahu bagaimana mengatur jadwal belajar" dengan nilai IPA, serta 3)"Menandatangani buku konsultasi/PR" dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, nilai Bahasa Indonesia, dan dengan nilai IPS. Sedangkan 4 item kegiatan yang berkorelasi negatif adalah : 1) "Memberitahu langkah-langkah yang harus dilakukan dalam belajar" dengan nilai Matematika, 2) "Menanyakan apakah ada PR/tugas-tugas yang perlu dikerjakan", dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, 3) "Menanyakan berapa nilai/hasil belajar yang diperoleh anak" dengan nilai Bahasa Indonesia, dan 4) "Menjelaskan mengapa anak perlu belajar dan sekolah yang rajin" dengan nilai Bahasa Indonesia, nilai Matematika, dan dengan nilai IPS.


PEMBAHASAN
Berdasarkan desain instrumen ternyata 4 faktor dengan 15 item kegiatannya itu semuanya dilakukan ayah di rumah. Dengan demikian peran ayah di sekolah maupun di masyarakat tidak ada. Tidak adanya peran ayah di sekolah bisa terjadi memang sekolah kita - sekalipun sekolah laboratorium - kurang memberi peluang adanya peran ayah di sekolah dalam pendidikan anak tidak seperti diungkap oleh literatur/hasil-hasil penelitian di negara-negara maju. Hal yang sama rupanya terjadi pada peran ayah di masyarakat bagi pendidikan anak. Sekolah kita belum di kelola dengan manajemen yang berbasis pada masyarakat, sehingga wajar jika peran ayah masih terbatas di rumah/keluarga saja.


Hubungan peran ayah dengan prestasi belajar anak ternyata tidak sepantastis seperti diungkap dalam literatur/hasil-hasil penelitian di negara-negara maju. Hanya sebagai Provider peran ayah berkorelasi positif dengan nilai rata-rata semua mata pelajaran, dengan nilai IPA dan dengan nilai IPS. Mengingat sekolah dan PBM belum dikelola dengan MBS sehingga tidak ada partisipasi orang tua dalam pendidikan anak di sekolah, maka wajar jika peran orang tua tidak banyak berkorelasi dengan prestasi belajar anak. Hal ini bukan berarti peran ayah tidak penting. Perlunya partisipasi ayah di sekolah terindikasi dengan kegiatan "Menandatangani buku konsultasi/PR" yang berkorelasi positif dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, dengan nilai Bahasa Indonesia, dan dengan nilai IPS. Kegiatan ini telah dilakukan oleh sebagian besar ayah (73,3 %). Maka dari itu jika sejak awal sekolah dan PBM didesain dengan manajemen yang berbasis sekolah di mana salah satu (dari 3) pilar utamanmya adalah partisipasi orang tua dalam pendidikan (kurikulum, PBM, evaluasi, teknologi/media, dan lain-lain) di sekolah, pasti peran/kegiatan ayah menjadi berarti bagi peningkatan prestasi belajar anaknya.


Korelasi negatif antara peran ayah sebagai Pembimbing/Problem Solver dengan nilai Matematika ini mengejutkan penulis karena justru bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh literatur/hasil-hasil penelitian di negara-negara maju, justru peran ayah yang tinggi sebagai Pembimbing dengan kegiatan: a) "Memberitahu langkah-langkah yang harus dilakukan anak dalam belajar" berkorelasi negatif dengan nilai Matematika, b). "Menanyakan apakah ada PR/tugas-tugas yang perlu dikerjakan" berkorelasi negatif dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, c). "Menanyakan nilai/hasil yang diperoleh anak" berkorelasi negatif dengan nilai Bahasa Indonesia; Selain itu "Menjelaskan mengapa anak perlu belajar dan sekolah dengan rajin" sebagai kegiatan ayah dalam berperan sebagai Pendidik/Teacher juga berkorelasi negatif dengan nilai Bahasa Indonesia, Matematika dan IPS. Hal tersebut janganlah dimaknai makin tinggi peran ayah dalam 3 kegiatan di atas berarti makin rendah nilai mata pela jaran Bahasa Indonesia, Matematika dan IPS, tetapi hendaknya difahami betapa besar konsern ayah bagi anaknya sehingga jika anak mendapat masalah dengan nilai yang jelek/rendah maka ayah menjadi lebih peduli ikut mencari jalan keluar melalui pemberian penjelasan tentang perlunya belajar dan sekolah dengan rajin, siapa tahu nilai anak rendah karena belum sadar akan perlunya belajar; Memberitahu langkah-langkah kegiatan belajar yang perlu dilakukan dengan anggapan anak mendapat nilai rendah belum tahu (belum bisa) menetapkan langkah-langkah kegiatan belajar yang harus dilakukan agar sukses. Pada akhirnya ayah memandang perlu memonitor perkembangan siswa dengan jalan menanyakan apakah ada PR/tugas-tugas yang perlu dilakukan dan menanyakan nilai/hasil belajar yang diperoleh, adakah kemajuan? Bukankah peran ayah adalah sebagai Pendidik/Teacher dan Pembimbing/Problem Solver ?


Delapan kegiatan ayah yang tidak berkorelasi dengan prestasi belajar anak bukan berarti tidak perlu dilakukan, mengingat dampak kegiatan/peran ayah yang penulis teliti hanya terhadap perestasi belajar padahal dampak manfaatnya bukan hanya terhadap prestasi belajar saja, tetapi juga terhadap perkembangan anak lebih luas, sayangnya penulis tidak meneliti itu.


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Peran ayah dalam pendidikan anaknya adalah sebagai: (a) Provider: 1) menyediakan tempat belajar yang memadai, 2) membelikan buku dan alat-alat tulis, 3) memberitahu cara mengatur jadwal dan 4) menandatangani buku konsultasi dan PR; (b) Pembimbing/Problem Solver: 5) memberitahu langkah-langkah belajar, 6) menanyakan ada tugas/PR anak, 7) mencek belajar anak, 8) menanyakan nilai yang diperoleh, dan 9) kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak; (c) Pendidik/Teacher: 10) menjelaskan perlunya belajar dan sekolah, 11) memberitahu hal-hal yang boleh/tak boleh dilakukan, 12) menegur anak bila lalai tugas, dan 13) menasehati agar belajar dengan sungguh-sungguh; (d) Teladan/Model : 14) mengatur waktu nonton TV/video dan 15) menyuruh anak belajar sesuai jadwal.


2. Lima belas kegiatan peran tersebut semua dilakukan oleh ayah mulai terendah 39% sampai dengan tertinggi 88% dengan rata-rata 64%. Para ayah memainkan peran sebagai: (a) Provider pada aras tinggi, (b) Pembimbing/ Problem Solver pada aras sedang, (c) Pendidik/Teacher pada aras tinggi, dan (d) Teladan/Model pada aras sedang.
3. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara peran ayah sebagai Provider dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, nilai mata pelajaran IPA dan nilai mata pelajaran IPS; Kegiatan ayah dalam berperan sebagai Provider utamanya adalah "Menyediakan tempat belajar yang memadai", dan "Memberitahu cara-cara mengatur jadwal", berkorelasi positif dengan nilai IPA, dan "Menandatangani buku konsultasi/PR" berkorelasi positif dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, dan IPS anak.


4. Terdapat hubungan negatif dan signifikan antara peran ayah sebagai Pembimbing/Problem Solver dengan nilai mata pelajaran Matematika. Selain itu juga terdapat hubungan negatif antara kegiatan ayah : a) "Memberitahu langkah-langkah yang perlu dilakukan anak dalam belajar" dengan nilai mata pelajaran Matematika., b) "Menanyakan ada tidaknya tugas/PR" dengan rata-rata nilai semua mata pelajaran, c) "Menanyakan nilai yang diperoleh anak" dengan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, dan d) "Menjelaskan anak perlunya belajar dan sekolah dengan rajin" dengan nilai mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPS.


SARAN
Guna meningkatkan prestasi siswa, orang tua perlu meningkatkan perannya sebagai Provider utamanya menyediakan tempat belajar yang memadai, memberitahu cara mengatur jadwal anak, dan menandatangani buku konsultasi/ PR. Untuk itu guru/sekolah perlu bekerjasama dengan orang tua dalam bidang yang lebih luas (selain finansial) seperti kurikulum, PBM, evaluasi, dan lain-lain, sebagaimana yang dituntut MBS. Selain itu instrumen yang penulis kembangkan perlu replikasi bagi penelitian lanjut di sekolah bukan laboratorium dan guna mendalami mengapa peran ayah berdampak pada prestasi belajar anak baik positif maupun negatif.
DAFTAR PUSTAKA

Bloir, K. 2002, What About Dad?. http://ohioline.osn.edn/ hygfact/5000/5155.htm/. (11/23/02)

Brown, T. 2000, What Special About Father's Involvement? http://www.balco nesbank.community.com/voices/father.asp. (12/16/02)

Byrum, S. 1996, New Roles For Dads: Father as Role Models and Mentors. http://www.negs.org/. (12/16/02)

Dougherty, T. & Kurosaka, L. 2002, USCB Study of Children from Fatherless Homes. http://www.fathermag.com/news/2776-USCB.shtml.(12/14/02)

ESRC. 2001, Father Involvement and Outcomes in Adolescence and Adulthood. http://www.Literacutrust.org.UK/Research/fatherinvolve.tm/. (12/16/02)

Evans, G.D. 1999, The Common Roles of Fathers: The Five Ps. http://edis.ifas.ufl. edu/Body_HE140. (12/18/02)

Evans, G.D. 1999, The Hidden Benefits of Being an Involved Father. http://edis.ifas. ufl.edu/Body_HE137 . (12/18/02)

Fathering Interprise. 1995-1996, Fathering in the Nineties. http://www.fathermag.com/htm/modules/july95/xnineties.htm/. (12/14/02)

Hart, J. 2002, The Importance of Fathers in Children's Asset Development. http://fairfield.osn,edu/parent/parentparth june17.htm/. (11/23/02)

______,1999, The Meaning of Father Involvement for Children. http://fairfield.osn. edu/parent/parentparthjune20.htm/ (11/23/02)

Hilliard, D.R. 1996, Qualities of Successful Father-child Relationships. http://www.YouthandReligion.org/Resources/ ref_age.htm/ (12/14/02)

Idris, Z. 1981, Dasar-Dasar Kependidikan. Padang: Angkasa Rayon. Idris, Z. & Jamal, L. 1992, Pengantar Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Jacobson, L. 1996, A Father's Challenge: Reaching Your Daughter at School. http://npin.org/library/pre1998/n00407/n00407.htm/ (12/16/02)

Jaim, A. Belsky, J. & Crnic, K. 1996, Beyond Fathering Behaviors: Types of Dads, Journal of Family Psychology,V.10/4. http://www.questio.com/ (12/17/02)

Lighfoot, L. 2002, Dads, Other Special People Will Go Bach to School. http://www/ Waschool.kiznv.us/dietri. (12/17/02)

McAdoo, J.L. 1993, Understanding Fathers: Human Services Perspectives in Theory and Practice. http://npin.org/library/ 2001/n00598/n00598.htm/. (12/19/02)

Messineo, F. 1996, Collaborations: Building Bonds Between Father & daughters. http://www.tiac.net/nsers/negs/ (12/16/02)

Mitcalf, S. 2002, The Importance of Father Time. http://www. fathermag.com/204/Fathering/. (12/14/02)

National Center for Education Statistic. 1998, Student do Better when their Fathers are Involved at School. http://npin.org/ library/1998/n00066/n00066/.html. (12/16/02)

National Center on Father and Families. 2001, Fathering Indicator Frame Work: A Tool for Quantative and Qualitative Analysis. http://www.ncoff.qse. upenn.edu/fif/FoF_report.pdf. (12/18/02)

National PTA. 2002, What Research Tell Us: Benefits of Family Involvement in Education. http://www.myschoolonline.com/ page/0,18H,0-105130-297979, 00.htm/ (12/17/02) Nord, C.W., 1998 rev. 2000, Father Involvement in Schools. http://ericcus.uncg. edu/virtualib/violence/1402.htm/

Parenting Pathways. 1998. Father Role. http://fairfield.osn.edu/ parent/parent parthjune21.htm/ (11/23/02)

Peter, H.J. & Shertzer, B. 1974, Guidance: Program Development and Management (3rd edition). Colombus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co.

Rilley, R.W. & Shalala, D.E. 2000. A Call Commitment: Fathers' Involvement in Children's Learning. US Dep. Of Education & US Dep. of Healtba and Human Services, http://www.ed.qov/pubs/ parents/calltocommit/ title.htm/ (12/17/02)

Rocky Mountain Family Council. 2002, Fathers' Involvement in Education. http://www.rmfc.org/fs/fs0078.html. (12/17/02)

Semiawan, C.R. 1999/2000, Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Depdikbud Dirjen PT. Suhartono, I. 1999, Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

The Family Works, 2002. Calling All Dads: Getting More Man Involved Their Children Education. http://www.thefamily workers.org/Parenting/call Dads.htm. (12/16/02)

US Departement of Education. 2002, Father Involvement in Education. http://www. acorns.k12.tn.US/Parents/Fathers.htm. (12/28/02)

Wood Elementary Dad's Club, 2002, Involved Fathers Make A Deference!. http://66.34.55.26/home.html/ (12/18/02)