EKONOMI SUMBER DAYA DAN LINGKUNGAN
By:
Mickaus Gombo
A. PENDAHULUAN
Seringkali tak sedikit orang didunia ini berfikir bahwa konservasi sumber daya alam itu hanya tugasnya dinas-dinas terkait saja. Adapula sebagian intelektual juga tak menyadari bahwa ilmu konservasi atau pemeliharaan lingkungan hidup itu tidak perlu dipelajari atau difikirkan, karena mereka beranggapan bahwa pemeliharaan lingkungan itu tugasnya orang-orang kehutanan, mahasiswa biologi maupun geografi serta LSM- LSM yang orientasinya bergerak dibidang tersebut.
Jikalau paradigma berfikir seperti ini dipelihara terus, maka hal ini berdampak sangat fatal, sebab kita tidak menyadari bahwa bumi dan isinya adalah wadah dimana manusia dapat di tempati dan diperoleh kehidupan. Paradigma ini harus dirubah sejak dini, sebab tanpa pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan yang tak bertanggungjawab dapat menyebabkan kerusakan dan pemusnahan kekayaan organisme yang bersifat endemik maupun merugikan dirinya sendiri; misalkan adanya ancaman pemusnahan kayu Suam, karena pola konsumtifnya masyarakat terlalu berlebihan. Mereka melihat hanya nilai marketnya saja, namun tidak menyadari bahwa kayu suam memiliki nilai yang bersifat endemic menguntungkan. Nilai yang lain dapat dimanfaatkan penyangga rumah. Itu berarti pohon tersebut langka dan memiliki nilai wisata dan nilai sosial.
Untuk itu perlu dilakukan konservasi keberadaannya, agar para pengunjung dari luar maupun local dapat melihat dan memahami nilai yang terkandung pada jenis pohon tersebut. Sama hal pula jenis-jenis anggrek yang endemik dan berbagai jenis ikan dilaut dan terumbuh karang. Dengan demikian tugas pemeliharaan hutan atau SDA adalah bukan tugas satu-dua orang atau orang yang memiliki domain disana saja, namun tugas konservasi SDA adalah tugas kita bersama seluruh manusia yang hidup diatas dan didalamnya tanpa memandang bulu.
B. HUBUNGAN DISINVESTASI DENGAN KONSERVASI.
Jika dipandang kedua hubungan ini secara umum di Indonesia maupun secara khusus di Papua, memiliki hubungan yang erat. Misalkan di Papua dilakukan upaya konservasi oleh lembaga-lembaga baik itu swasta maupun negeri seperti lembaga Lingkungan Hidup, World Wide Fund (WWF), Dinas Kehutanan maupun lembaga swasta atau LSM-LSM lainnya dengan pendekatan-pendekatan maupun metode-metode tertentu dalam usaha konsevasi, namun ada sekelompok manusia baik itu masyarakat awam maupun pengusaha kelas kakap dengan berbagai dalih melakukan pengrusakan secara massif.
Akibatnya, hampir habitat makhluk hidup di Indonesia maupun di Papua khususnya telah rusak. Dampaknya beberapa jenis organisme di area pengrusakan tersebut telah punah. Apalagi disekitar itu ada organisme yang bersifat endemik yang ikut punah. Hal itu sangat merugikan dan mengurangi jumlah organisme, sehingga persediaan sumber daya alam tidak dapat diandalkan lagi.
Oleh karena organisme di alam ini saling memberi dan menerima sehingga dapat merugikan bagi organisme lain, sebab satu organisme itu memiliki nilai ekonomis dan nilai-nilai lain yang dapat mendatangkan keuntungan (gain) bagi ekonomi rumah tangga, PAD bahkan devisa bagi negara. Ada nilai lain yang hilang dari dampak pengrusakan yaitu kurangnya unsur Oksigen(O2), karena hutan ditebang habis, sehingga manusia tidak mendapatkan unsur O2 untuk melakuan respirasi. Oleh karena itulah manusia menggunakan O2 dengan jalan alternatif yang tidak sehat yaitu buatan O2 atau AC (air contidioner) dan kipas angin yang tentunya dapat mengeluarkan cost pula memiliki efek samping kurang menguntungkan kesehatan.
a. Disinvestasi akibat habisnya persediaan alam.
Persediaan alam yang ada, walaupun belum diekloporasi keberadaannya merupakan investasi yang sangat berarti bagi makluk hidup, terutama manusia dan juga makluk hidup lain. Misalkan hutan. Hutan adalah sebuah media dimana tempat berdiamnya berbagai jenis makluk hidup yang saling menguntungkan/ simbiosis mutualism, simbiosis parasitisme maupun simbiosis epifitisme. Namun intinya adalah satu jenis persediaan diambil secara massif tanpa difikirkan cadangan persediaan dengan batasan waktu eksplorasi maupun eksploitasi yang tidak jelas dengan alasan klasik bahwa permintaan konsumen semakin tinggi ini telah terjadi disinvestasi atau losingnya persediaan alam, sehingga mengakibatkan dampak eksternal bagi organisme disekitar areal eksploitasi.
Hal ini adalah dampak social. Semakin berkurangnya persediaan alam ini merupakan suatu fenomena terjadinya disinvestasi yang menyulitkan kebutuhan bagi manusia pada masa akan datang. Karena kita tahu bahwa tidak semua persediaan alam itu dapat dimanfaatkan bahkan menjamin kelangsungan hidup bagi manusia dalam sepanjang waktu, karena persediaan alam tersebut belum diketahui secara detail tentang volume kandungannya. Karena kelakuan manusia juga terus mengekploitasi persediaan yang dikategorikan sebagai sumber daya yang tidak diperbaharui. Contoh: Tambang tembaga maupun Emas digunung gresberg dieksploitasi secara massif akan memungkinkan disinvestasi. Penggunaan lahan dengan puluhan bahkan ratusan hektar untuk perkebunan kelapa sawit memungkinkan unsure hara terhisap habis atau persediaan unsure H2 nya habis sehingga terjadi lahan kritis.
Berkaitan dengan itu muncul pula dua kelompok manusia dengan pandangannya yang berbeda, yaitu;
ü Kelompok Optimisme
Kelompok ini beranggapan bahwa alam mampu memberikan persediaan sumber daya yang dapat menghidupi kebutuhan walaupun diekploitasi secara besaran-bearan, karena alasan bahwa alam akan mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi manusia. Alam mampu mengatur dirinya di alam ini, walaupun diambil dan digunakannya. Contoh sekelompok manusia ini ada di Papua kebanyakan dari masyarakat local. Ada disekitar kaki gunung Cyclop melakukan sistem /pola berkebun dengan cara berpindah-pindah, ijin HPH tanpa kontrol yang jelas dan tegas oleh pihak pemerintah.
ü Kelompok Pesimisme
Kelompok ini beranggapan bahwa dengan kritisnya persediaan sumber daya diakibatkan krisis eskternal maupun dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya dalam jangka waktu tertentu di kemudian hari, sehingga mereka mengharapkan ada upaya konservasi kedua sumber daya secara serius, yaitu SDA yang dapat diperbaruhi maupun tidak dapat diperbaharui secara berkelanjutan (sustainable) dan dalam pemanfaatannyapun harus secara proporsional atau balance.
b. Contoh-contoh real kedua hubungan diatas, yaitu:
Sumber daya kelautan atau Ketersediaan ekosistem laut:
ü Illegal Fishing; negara belum mampu melakukan konservasi dalam hal pengawasan. Pengawasan yang lemah menyebabkan persediaan sumber daya ekosistem laut terkuras secara massif oleh negara lain, sehingga dapat menyebabkan kehilangan sumber ekonomi. Nelayan Indonesia mencari ikan lebih jauh akibat hilangnya persediaan ikan, sehingga dapat mengakibatkan costnya semakin tinggi. Hal ini juga terjadi disinvestasi. Misal nelayan mengeluarkan tenaga, waktu maupun bahan bakar yang digunakan, namun hasilnya tidak cukup menjamin kelangsungan hidupnya. Maka mereka menggunakan langkah alternative, yaitu menggunakan bahan peledak seperti contoh terjadi dikawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih oleh beberapa suku dari kawasan itu yaitu suku Buton, Biak dan Serui (Buletin TNTC, ed.4, 2009).
ü Illegal Diging maupun perijinan ekloporasi oleh pemerintah tanpa memperhitungkan dampak negative. Apalagi adanya rasa tidak percaya diri terhadap modal manusia (human capital/social capital) yang dimiliki lalu menyerahkan sumber alam (natural capital) kepada pihak asing untuk dikelola. Disini terjadi disinvestasi secara besar-besaran dan tentunya pihak asing tidak terlalu memikirkan konservasi terhadap sumber daya yang ia eksploitasi, namun ia lebih memikirkan keuntungan (gain) dari ketersediaan sumber daya alam. Contoh pengambilan tambang tembaga dan emas di gunung gresberg, sangat jelas bahwa bahan tambang lain seperti timah, seng, nikelpun ikut tereksploitasi habis-habisan. Pertambangan dapat menguntungkan 2,5 milyar ton biji emas dan tembaga semuanya diwilayah konsensi Freeport, batu bara 6,5 juta, batu gamping diareal seluas 190.000 ha. (Buletin Kehutanan, 2009)
ü Illegal Logging. Ijin operasi HPH. Sistem berkebun secara pindah-pindah oleh masyarakat. Hali ini disebabkan dengan kebutuhan ekonomi sehingga penting adanya solusi ekonomi bagi mereka. Lalu memberikan saran-saran berhubungan dengan konservasi. Papua memiliki kurang lebih 10000 specias tanaman, 1500 varientas dihutan tanaman komersial, sedangkan hutan Papua memiliki luas mencapai 31.079.185,77 ha, dengan diklasifikasi dalam beberapa kelompok, yaitu hutan konservasi seluas 6.428.923.05 ha (20,71%), hutan lindung 7.475,821,50 ha(24,05%), hutan produk tetap 3,171,606,57 ha (26,3%), hutan produksi terbatas 1,816,319 ha(5,84%), hutan konversi 6,354,726 ha (2,64%). Dari data diatas terlihat jelas bahwa hutan yang dikonservasi cukup besar diatas angka dengan prosentasi 20,71%. dari luas hutan Papua 31.079.185,77 ha . angka yang cukup fantastic, namun kondisi real justru tak terkontrol banyak hutan komersilkan. ( Bulletin Kehutanan TNTC, ed.04, 2009)
C. HUBUNGAN INVESTASI DENGAN DEPLESI.
Kedua hubungan ini terjadi begitu nampak di seantero negeri ini. Pemerintah dengan para pengusaha atau konglomerat senantiasa melakukan upaya penanaman investasi melalui beberapa jenis sumberdaya alam yang tersedia, yaitu ekosistem hutan, ekosistem laut, ekosistem air payau maupun sumber-sumber mineral yang terkandung dalam perut bumi nusantara katulistiwa ini. Dari segi ekologi hutan bakau maupun hutan mangrove dapat memberikan fungsi tak sedikit, karena hutan bakau merupakan tempat hidup atau habitat dari berbagai jenis insekta, aves, amphibia, mamalia dll. Hutan Mangrovepun dapat memberikan fungsi yang besar pula bagi kehidupan, karena merupakan habitat bagi ikan dan kayu sebagai komoditas unggulan. (Fauzi dlm Velasco, 1987).
Namun kenyataan yang terjadi pengelolaan hutan mangrove maupun hutan bakau tidak seperti yang diharapkan. Pemerintah tahu dan dengan sadar memberikan ijin eksplorasi sumberdaya alam yang tersedia kepada para pengusaha dengan koridor atau mekanisme hukum yang legal, namun pengusaha memandang income yang diterima dari usaha yang digeluti cukup besar, sehingga lupa perjanjian yang disepakati, lalu melakukan eskploitasi terlalu berlebihan (deplesi). Pemerintah barangkali kecolongan dalam pengawasan atau karena pemerintah mendapat royalty dari perusahaan yang sedang dioperasi, sehingga fungsi pengawasan tidak dijalankan secara efektif. Apalagi para pengusaha melakukan eksploitasi persediaan SDA di negeri ini dengan alasan logis seperti permintaan (demand) terhadap konsumen baik itu ditingkat Nasional, regional maupun masyarakat Internasional semakin meningkat. Alasan ini menjadi senjata atau amunisi ampuh dalam menggerup persediaan terlalu berlebihan tanpa memperhitungkan dampak negatifnya. Oleh karena alasan klasik inilah mereka terus giat melakukan ekplorasi sumber-sumber SDA baru yang memiliki nilai ekonomis yang cukup menjanjikan.
Sedangkan upaya investasi tak terlihat jelas sebab SDA yang dimanfaatkan oleh para pengusaha atas ijin pemerintah tersebut tak melalukan konservasi dalam arti tidak ada upaya pembaharuan terhadap sumber daya yang bisa diperbaharui, maka hal itu pertanda bahwa tidak ada investasi SDA bagi masa depan kehidupan organism lain. Dengan demikian ditafsirkan kebutuhan ekonomi masa depan sangat suram. Apalagi pengambilan ketersediaan SDA tersebut secara berlebihan (deplesi) seperti terjadi dibeberapa tempat di Papua maupun di Indonesia.
Contoh:
Pengambilan bahan mineral tembaga maupun emas di pengunungan Gresberg, Tembagapura. Penebangan hutan di beberapa tempat di Lereh-Kaureh, Pengambilan Kayu dihutan mangrove sehingga beberapa organism di Taman Nasional Teluk Cenderawasih. dsb.
Pengambilan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) oleh beberapa Suku di Papua, yaitu Bugis, Biak dan Serui. Selain itu mereka juga menggunakan bahan racun tradisional seperti tuba. (Buletin TNTC, edisi 4, 2009). Apalagi pencurian tak terkendali oleh kapal Taiwan di Perairan Indonesia dengan menggunakan teknologi canggih sehingga terumbuh karang maupun biota laut lainnya telah dirusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar